Membaca. Membaca. Membaca. Review!

Minggu, 02 November 2014

Indonesia yang "tak apa-apa" di mata orang Jepang



Judul : Kangen Indonesia
Penulis : Hisanori Kato
Penerbit : Kompas
Jumlah Halaman : 143

Buku ini saya temukan di antara tumpukan judul buku yang sedang diskon. Gramedia mengadakan diskon ‘kecil-kecilan’ awal bulan lalu. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan judulnya. Biasa-biasa saja menurutku. Tetapi, disertai dengan kesadaran penuh. Saya membaca kalimat di belakang sampulnya. Ternyata sangat menarik.
Saya membeli beberapa buku lain, tentunya buku ini juga, kebetulan diskon 20 persen. Ya lumayanlah. Waktu itu, saya berhasil memboyong 7 buku. Harga yang harus dibayarkan pun tidak sampai 200 ribu. Wuihh… diskon buku mana lagi yang saya dustakan? :D.

****

Terkadang saya merasa sedih ketika seseorang dari luar Indonesia alias bule mancanegara lebih tahu suatu daerah di Indonesia ketimbang saya. Ya siapa saya?, belajar geografi sewaktu SMU pun saya ogah-ogahan. Belajar penunjuk arah pun saya masih susah. Utara, selatan, timur, barat, persisnya kadang tertukar. 

Miris memang, kenapa harus mereka yang lebih tahu dari kita?. Kenapa isi dapur kita tetangga lebih tahun dari kita?. Kenapa coba? Kenapaa?. Kebanyakan dari kita (termasuk saya) kadang lebih mengagung-agungkan negara lain dibanding Negara sendiri. Menghina, mencaci, mencemooh negeri sendiri.
Kapan saya bahas bukunya ya? *garuk-garuk hidung* :D

***

Buku ini semacam diari seorang berkebangsaan Jepang. Hisanori Kato. Untuk pertama kalinya Kato tinggal di Indonesia pada tahun 90-an. Kato bermaksud melakukan penelitian agama islam di Indonesia sesuai dengan ilmu yang didalaminya, Sosiologi agama. Perlu dicatat, bahwa disertasinya mencakup perbandingan antara perilaku manusia di beberapa agama, terutama agama Budha.

Lain lubuk lain ikannya, lain ladang, lain belalangnya. Awalnya, Kato mengalami gegar budaya. Budaya Indonesia yang menurutnya aneh. Dibandingkan dengan budaya jepang yang serba tepat, terutama dalam hal waktu. Jauh dari Indonesia yang sangat mengenal ‘Jam karet’. Kato malah  heran dengan orang Indonesia sering mengatakan “tak apa-apa” untuk hal yang menurutnya “apa-apa”. 

Untuk mendalami penelitiannya, Kato mencoba mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia dengan hal-hal sederhana. Mencoba berpikir positif dengan kebanyakan orang Jawa yang Nrimo, menerima sesuatunya dengan lapang dada. Makin dia pelajari, makin takjublah dia dengan temuan-temuan yang dia belum dapati di Jepang. Orang Indonesia umumnya pemaaf. Menurutnya, ada beberapa “kata sakti” yang sering didengarnya. 

Di Indonesia, sangat jarang ditemui orang yang datang tepat waktu. Alasan dengan Kata sakti pertama yang keluar dari orang yang terlambat adalah “macet”, kemudian lawan bicara akan berkata “oh begitu” dan perkara terlambat pun selesai. Bagi Kato yang orang jepang sungguh membingungkan.

Banyak hal yang ditemui Kato di Indonesia dan membuatnya makin cinta. Selain penelitian yang harus segera diselesaikannya, Kato juga kagum dengan keberagaman di Indonesia. Baik bahasa, suku, adat istiadatnya. Sampai-sampai, Kato harus belajar makan dengan menggunakan tangan untuk menyesuaikan makanan apa yang akan dimakannya. Ternyata enak menurutnya. Ah… kalau saya, pak Kato, makan ikan bakar itu jauh lebih enak dengan memakai tangan daripada harus bermanis-manis ria dengan menggunakan sendok atau garpu, apalagi sumpit :D.

Se-takjub takjubnya Bapak Kato ini akan Indonesia, saya lebih takjub lagi setelah membaca tuntas buku ini. Saya menjadi tahu kesan seorang Jepang tentang negeri tercinta ini. Jujur, saya semakin cinta Indonesia, yaaa…meskipun beberapa minggu terakhir menjelang kenaikan BBM, saya menjadi apatis terhadap kelakuan pendemo yang membuat resah dan gelisah. 

Saya sebagai anak muda Indonesia menjadi malu rasanya. Tidak belajar mencintai negeri sendiri, cenderung skeptis dan apatis. Saya bertekad, setelah menuliskan review ini, akan belajar mengurangi sikap sinis saya terhadap keadaan yang sedang berlangsung di Indonesia tercinta ini. Tidak ada salahnya kan saya kembali belajar untuk memahami hal-hal sederhana yang saya temui di negeri ini?.
Paling tidak, saya belajar untuk datang tepat waktu, datang sebelum acara atau janjian dengan seseorang. Setidaknya saya memang kalau ke mana-mana sering membawa buku di dalam tas untuk menemani saya menunggu acara dimulai atau teman yang belum datang.

Setidaknya lagi, saya tidak menambah daftar panjang Bapak Kato sebagai orang yang mengatakan “tak apa-apa”, “macet”, “maaf saya ketiduran, lupa ada janji”. Semoga.

Makassar, 15.06.2013 (23.35 Wita)





0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© 2011 Membacaki, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena