Judul : Kangen
Indonesia
Penulis :
Hisanori Kato
Penerbit : Kompas
Jumlah Halaman : 143
Buku ini saya
temukan di antara tumpukan judul buku yang sedang diskon. Gramedia mengadakan
diskon ‘kecil-kecilan’ awal bulan lalu. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik
dengan judulnya. Biasa-biasa saja menurutku. Tetapi, disertai dengan kesadaran
penuh. Saya membaca kalimat di belakang sampulnya. Ternyata sangat menarik.
Saya membeli
beberapa buku lain, tentunya buku ini juga, kebetulan diskon 20 persen. Ya
lumayanlah. Waktu itu, saya berhasil memboyong 7 buku. Harga yang harus dibayarkan
pun tidak sampai 200 ribu. Wuihh… diskon buku mana lagi yang saya dustakan? :D.
****
Terkadang saya merasa
sedih ketika seseorang dari luar Indonesia alias bule mancanegara lebih tahu suatu
daerah di Indonesia ketimbang saya. Ya siapa saya?, belajar geografi sewaktu
SMU pun saya ogah-ogahan. Belajar penunjuk arah pun saya masih susah. Utara,
selatan, timur, barat, persisnya kadang tertukar.
Miris memang, kenapa
harus mereka yang lebih tahu dari kita?. Kenapa isi dapur kita tetangga lebih
tahun dari kita?. Kenapa coba? Kenapaa?. Kebanyakan dari kita (termasuk saya)
kadang lebih mengagung-agungkan negara lain dibanding Negara sendiri. Menghina,
mencaci, mencemooh negeri sendiri.
Kapan saya bahas
bukunya ya? *garuk-garuk hidung* :D
***
Buku ini semacam
diari seorang berkebangsaan Jepang. Hisanori
Kato. Untuk pertama kalinya Kato tinggal di Indonesia pada tahun 90-an. Kato bermaksud
melakukan penelitian agama islam di Indonesia sesuai dengan ilmu yang
didalaminya, Sosiologi agama. Perlu dicatat, bahwa disertasinya mencakup perbandingan
antara perilaku manusia di beberapa agama, terutama agama Budha.
Lain lubuk lain
ikannya, lain ladang, lain belalangnya. Awalnya, Kato mengalami gegar budaya.
Budaya Indonesia yang menurutnya aneh. Dibandingkan dengan budaya jepang yang
serba tepat, terutama dalam hal waktu. Jauh dari Indonesia yang sangat mengenal
‘Jam karet’. Kato malah heran dengan orang
Indonesia sering mengatakan “tak apa-apa” untuk hal yang menurutnya “apa-apa”.
Untuk mendalami
penelitiannya, Kato mencoba mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia
dengan hal-hal sederhana. Mencoba berpikir positif dengan kebanyakan orang Jawa
yang Nrimo, menerima sesuatunya
dengan lapang dada. Makin dia pelajari, makin takjublah dia dengan temuan-temuan
yang dia belum dapati di Jepang. Orang Indonesia umumnya pemaaf. Menurutnya,
ada beberapa “kata sakti” yang sering didengarnya.
Di Indonesia,
sangat jarang ditemui orang yang datang tepat waktu. Alasan dengan Kata sakti
pertama yang keluar dari orang yang terlambat adalah “macet”, kemudian lawan
bicara akan berkata “oh begitu” dan perkara terlambat pun selesai. Bagi Kato
yang orang jepang sungguh membingungkan.
Banyak hal yang
ditemui Kato di Indonesia dan membuatnya makin cinta. Selain penelitian yang
harus segera diselesaikannya, Kato juga kagum dengan keberagaman di Indonesia.
Baik bahasa, suku, adat istiadatnya. Sampai-sampai, Kato harus belajar makan
dengan menggunakan tangan untuk menyesuaikan makanan apa yang akan dimakannya.
Ternyata enak menurutnya. Ah… kalau saya, pak Kato, makan ikan bakar itu jauh
lebih enak dengan memakai tangan daripada harus bermanis-manis ria dengan
menggunakan sendok atau garpu, apalagi sumpit :D.
Se-takjub
takjubnya Bapak Kato ini akan Indonesia, saya lebih takjub lagi setelah membaca
tuntas buku ini. Saya menjadi tahu kesan seorang Jepang tentang negeri tercinta
ini. Jujur, saya semakin cinta Indonesia, yaaa…meskipun beberapa minggu terakhir
menjelang kenaikan BBM, saya menjadi apatis terhadap kelakuan pendemo yang membuat
resah dan gelisah.
Saya sebagai
anak muda Indonesia menjadi malu rasanya. Tidak belajar mencintai negeri
sendiri, cenderung skeptis dan apatis. Saya bertekad, setelah menuliskan review
ini, akan belajar mengurangi sikap sinis saya terhadap keadaan yang sedang
berlangsung di Indonesia tercinta ini. Tidak ada salahnya kan saya kembali
belajar untuk memahami hal-hal sederhana yang saya temui di negeri ini?.
Paling tidak,
saya belajar untuk datang tepat waktu, datang sebelum acara atau janjian dengan
seseorang. Setidaknya saya memang kalau ke mana-mana sering membawa buku di
dalam tas untuk menemani saya menunggu acara dimulai atau teman yang belum
datang.
Setidaknya lagi,
saya tidak menambah daftar panjang Bapak Kato sebagai orang yang mengatakan “tak
apa-apa”, “macet”, “maaf saya ketiduran, lupa ada janji”. Semoga.
Makassar, 15.06.2013
(23.35 Wita)
0 komentar:
Posting Komentar