Membacaki

Membaca. Membaca. Membaca. Review!

Senin, 23 Maret 2015

Dusta dalam Guratan Wajah



Judul Buku : Beautiful Lie
Penulis : Irfan Master
ISBN : 978-979-22-8898-8
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Desain cover : eM Te
Tanggal Terbit : September 2012
Harga : Rp. 52.500
Tebal : 297 halaman

Semua orang pernah berdusta. Apapun bentuknya. Berbohong untuk hal yang memang salah, ataukah berbohong untuk sebuah kebaikan.
Berbohong untuk menunda kematian seseorang, adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Kematian dan kebenaran, adalah hal yang berjalan bersisian. Serupa bayangan diri. Kemanapun akan selalu mengikuti. Hanya persoalan waktu. Kematian adalah kebenaran itu sendiri. Tak ada yang bisa menghindari kebenarannya.


Anaar Gully, India Utara, Juni 1947.
Bilal adalah seorang anak laki-laki islam yang tinggal di lingkungan mayoritas Hindu. Semula mereka hidup berdampingan tanpa ada beban satu sama lain. Hingga pada tahun 1947, india bergolak. Isu-isu agama dan pemisahan negara bagian muncul dan membuat masing-masing pihak resah.

Selayakanya anak-anak berumur belasan. Bilal bersama ketiga kawannya sangat dekat satu dan lainnya. Bilal dan Saleem Beragama islam, Chota dan Manjeet beragama Hindu. Mereka bersahabat tanpa ada tendensi agama satu sama lain.

**

Dusta demi dusta dimulai oleh Bilal kepada ayahnya yang sekarat. Menunggu ajal di atas bumi India yang sangat dicintainya. Bilal sangat mengidolakan Bapuji (bapak)-nya. Semasa kesehatannya masih baik, Bapuji Bilal adalah anggota komite pasar yang cukup disegani. Dihormati oleh orang-orang pasar. Bapuji adalah sosok yang cerdas. Berwawasan luas dan menyukai sastra, dan sangat mengagumi penyair bernama Tagore.

“Pendidikan dan Karya sastra, anakku, kita semua berhak mendapatkannya. Kalau kau memilikinya, berbagilah dengan orang-orang lain” kata Bapuji kepada Bilal dan akan mengakhiri pesannya dengan mengutip sebuah puisi.

Begitulah setiap kali Bapuji menceritakan isi buku-buku yang dibacanya kepada Bilal, yang pada saat itu belum dapat membaca. Bilal terpesona dengan negara-negara yang diceritakan Bapuji. Keindahannya membuat Bilal berimajinasi seolah-olah dapat melihat langsung bentuk bangunan-bangunan yang terdapat di dalam ensiklopedia dunia yang dibaca Bapuji. Hingga dalam mimpinya, Bilal bermimpi mendatangi langsung negara yang telah disebutkan Bapujinya itu.

Bapujinya sudah sangat tua. Penyakit yang dideritanya sangatlah menakutkan. Tak ada seorang pun di dunia ini yang bermimpi menderita penyakit itu. Gurat-gurat halus yang kentara di wajahnya akan sangat tampak jelas ketika ia tersenyum. Bapuji menyebutnya “Guratan-guratan kesalahan. Retakan-retakan kita sendiri di dalam kerak bumi”.

India tak lagi sama.
Gejolak yang sedang terjadi di luar gubuk kecil mereka, adalah hal yang membuat Bilal gundah. Bapujinya tidak tahu menahu hal tersebut. Bapujinya hanya berbaring di atas tempat tidur usang dan lembab, ruangan yang hanya dibatasi dengan pembatas dinding buku-buku yang telah dikumpulnya selama empat puluh tahun.

Dusta demi dusta dimulai. Ketika Bilal mulai ‘membaca’ hal-hal yang akan terjadi di sekitarnya. Dia tidak ingin Bapujinya tahu. Berbagai macam cara dia lakukan agar Bapujinya tetap baik-baik saja menjelang ajalnya. Penyakit yang diderita Bapuji sungguh membuatnya terpukul. Bilal sangat mencintai Bapujinya, lebih dari apapun. Bapuji adalah dunianya.

Apa daya, Bilal hanyalah seorang anak kecil yang tak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki keadaan. Bilal hanyalah tokoh yang berperan dan sandiwara kehidupan. Sekuat apapun dia membuat dusta-dusta kecil yang dianggapnya baik untuk Bapujinya, tetaplah dusta itu akhirnya menyakitkan. Dan hanya dibawanya selama bertahun tahun kemudian dan tetap menghantuinya.

***

Novel Beautiful Lie ini, menurut saya Novel yang indah. Penggambaran tentang sebuah persahabatan, keyakinan, keteguhan. Meski Roman India pada masa tahun 40-an dideskripsikan terbatas, saya merasa sudah ‘menjelajahi’ sedikit bagian India tersebut.

Di sisi lain, agak sedikit mengganggu ketika dua sampai tiga kali disebutkan kata minggat dan kepingin. Mengapa sang Alih Bahasa tidak menggunakan saja, kata Pergi dari rumah untuk kata minggat ataukah ingin untuk kata kepingin.

Sangat terasa ketika sedang asiknya membaca dan larut dalam alur cerita, kemudian tiba-tiba muncul kedua kata itu muncul, membuat saya berhenti sejenak. Membuat mood saya hilang. Setelah tenggelam dalam suasana di India, dirusak dengan ‘kedatangan’ orang india asli yang beraksen ke-Jakarta-Jakarta-an, aneh rasanya. :D

**
Read More

Jumat, 07 November 2014

Tua dan Kesepian di Laut Luas



Sebenarnya, saya pernah membaca buku ini. Tetapi tidak sampai tuntas. Saya hanya membaca hingga pertengahan. Karena penasaran, dan merasa bersalah tidak menyelesaikannya, saya memulai membacanya kembali.

*

Lelaki tua Kuba yang memancing di perairan arus teluk, dengan sebuah perahu kecil yang terombang-ambing di luasnya samudera. Hanya sendiri, dengan tubuh tuanya yang ringkih. Tak sekalipun dia pulang ke rumah membawa ikan besar hasil tangkapannya. Berbeda dengan nelayan-nelayan yang ada di sekitar pelelangan ikan tak jauh dari rumahnya di atas bukit.

Hidup seorang diri, telah membuatnya hampir tidak merasa kesepian. Hanya saja, setelah 84 hari melaut tanpa seekor ikan pun. Dia bertekad untuk melaut seorang diri, meski sebelumnya pernah ditemani oleh seorang anak lelaki. Dia tidak ingin diganggu. Dia ingin sendiri.
Laut mengajarkan lelaki tua ini banyak hal. Perjuangan pantang menyerah.
Dia selalu berpikir laut sebagai la mar; dalam bahasa Spanyol, orang yang mencintai laut. Terkadang mereka mencintai laut, namun tetap mengatakan hal-hal buruk tentangnya, dan membicarakannya seolah-olah laut ini sebagai wanita.
Namun bagi lelaki tua ini, laut itu bersifat feminin dan menyimpan kesengan-kesenangan besar.
Jika laut melakukan hal yang ganas, itu karena dia tak mampu menahannya. Bulan memberinya kasih sayang seperti yang dilakukannya juga kepada wanita.(halaman 32)
Lelaki tua dan Laut, sebuah Analogi kehidupan. Lelaki Tua; Seorang manusia yang menua dan telah hidup berpuluh tahun di bumi, hidup dalam berbagai arus kehidupan. Sedangkan laut adalah salah satu bagian di bumi yang menyimpan banyak misteri. Memiliki segala keindahan yang dikandungnya, namun tak jarang menampakkan keganasannya yang tidak dapat direka oleh siapa pun.

Di lautan lepas inilah, Lelaki tua menebarkan keyakinan yang digenggamnya, bahwa sama halnya hidup, laut adalah tempat untuk mencapai titik kesabaran, ketabahan, kegigihan dan pantang menyerah. Bahwa kehidupan dan laut, adalah hal yang sama dalam mengarungi cobaan hidup. Selalu ada harapan. Meski terkadang berakhir sia-sia, dan tetap menyimpan harapan.
 
**

Bagi saya,membaca The old Man and The Sea ini, seperti menemani Lelaki tua berjalan-jalan di sebuah taman luas dengan cerita tanpa akhir. Asam garam kehidupan yang dibaginya sembari berjalan tertatih-tatih. Bersabar mendengarnya bercerita. Mendengar makian dan kekesalannya pada hidup. Hingga akhirnya kami tiba pada ujung taman lainnya dengan perasaan lega. Meski lelah, saya belajar tentang kesabaran. [AW]



Ernest Hemingway semasa muda

 
Ernest H, bersma ikan marlin tangkapannya


Bersama Istri keempat

Judul : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hemingway
ISBN : 978-979-024-147-3
Penerbit : Serambi ilmu Semesta
Penerjemah : Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Tanggal Terbit : Cetakan III November 2009
Harga : Rp. 31.500
Tebal : 145 halaman

Read More

Selasa, 04 November 2014

‘Hanya’ Cinta Biasa



Judul Buku : Bukan Cinta Biasa
Penulis : Ria Soraya & Rini Bee
Penyunting: Gari Rakai Sambu
Penerbit : Media Pressindo
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga : Rp. 28.000
Tebal : 179 Halaman
ISBN: 978-979-911-440-2

Shanata, gadis mungil, mahasiswa baru di sebuah universitas. Di awal kuliah, mendapati dirinya salah masuk kelas mata kuliah yang diambilnya. Di dalam kelas mata kuliah tersebut, Shanata tanpa sengaja bertemu dengan senior yang sangat manis menurutnya. Ditambah lagi dengan “dosen salah mata kuliah” yang ganteng.

Senior yang manis hanya dapat dipandanginya dari jauh, Donny namanya. Tak hanya itu, ternyata dosen ganteng yang semula dianggapnya galak, ternyata memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Hobi membaca buku, menyukai film dan kopi. Selalu saja ada kesempatan mereka saling bertemu di hari kuliah. Hal ini yang memicu Shanata untuk rajin ke kampus, hanya untuk bersenda gurau dan berbagi kisah setelah membaca sebuah buku kepada Dosen  yang bernama Ken itu.


Tanpa disadari, ternyata di antara mereka tumbuh benih-benih cinta, merasa selalu ada yang tidak lengkap di hari-hari mereka jika tidak bertemu.
Tak dinyana, Ken telah bertunangan, hingga membuat Shanata menghindar. Merasa “patah”. Karena Ken dari awal tidak pernah membicarakan statusnya kepada Shanata.
Mereka masing-masing memendam rasa. Sama-sama berusaha untuk mengabaikan persaan yang bagi diri mereka sendiri membingungkan, karena tidak dapat diungkapkan. Semakin mereka ingin melupakan, semakin kuat rasa itu menyiksa.
“hati bukanlah kaki yang bisa diperintah begitu saja untuk berjalan. Hati tak pernah berteman dengan logika. Ia hanya akan bersahabat dengan waktu.
Seperti itulah kisah mereka. Mereka menanti tanpa saling benar benar mencari satu sama lain. Hingga waktu mempertemukan keduanya.

***

Membaca “Bukan Cinta Biasa”, menurut saya “biasa saja”. Kurangnya konflik yang dibangun di antara tokoh. Beberapa plot yang gampang ditebak. Dan beberapa bab yang mengganggu karena begitu sedikit. Bab-bab itu ada di bab 2, 8, 29, 31, 36, 37, 39.
So far, saya memberikan apresiasi terhadap mereka berdua.

Ria Soraya; teman yang sudah kuanggap saudara, tempatku pernah berbagi kisah dan pernah melakukan perjalanan panjang Jogja-Bekasi. Awal pertemuan kami di Malioboro, menginap di penginapan murah yang Spooky. Meski hanya sekali bertemu dengannya, kami seperti telah cukup lama berteman. Ngerumpi.com-lah yang mempertemukan kami.

Rini Bee ; Mba cantik bermata teduh yang tidak pernah sekalipun saya bertemu dengannya, kami hanya ‘berjumpa’ di dunia maya, sesekali menanyakan kabar melalui SMS. Saya selalu berjanji pada diri sendiri, suatu saat akan bertemu dengan dirinya dan kedua buah hatinya yang cantik-cantik.
Akhirnya, saya merasa ini bukan sebuah review. Apapun namanya, saya angkat topi kepada kalian berdua, telah mewujudkan impian ‘melahirkan’ sebuah novel duet kalian. Saya menunggu novel-novel selanjutnya dari kalian. Jangan tanya novel saya kapan ‘lahirnya’?. :D.
*peluk*

Makassar, 20 Juni 2014
Read More

Minggu, 02 November 2014

Indonesia yang "tak apa-apa" di mata orang Jepang



Judul : Kangen Indonesia
Penulis : Hisanori Kato
Penerbit : Kompas
Jumlah Halaman : 143

Buku ini saya temukan di antara tumpukan judul buku yang sedang diskon. Gramedia mengadakan diskon ‘kecil-kecilan’ awal bulan lalu. Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan judulnya. Biasa-biasa saja menurutku. Tetapi, disertai dengan kesadaran penuh. Saya membaca kalimat di belakang sampulnya. Ternyata sangat menarik.
Saya membeli beberapa buku lain, tentunya buku ini juga, kebetulan diskon 20 persen. Ya lumayanlah. Waktu itu, saya berhasil memboyong 7 buku. Harga yang harus dibayarkan pun tidak sampai 200 ribu. Wuihh… diskon buku mana lagi yang saya dustakan? :D.

****

Terkadang saya merasa sedih ketika seseorang dari luar Indonesia alias bule mancanegara lebih tahu suatu daerah di Indonesia ketimbang saya. Ya siapa saya?, belajar geografi sewaktu SMU pun saya ogah-ogahan. Belajar penunjuk arah pun saya masih susah. Utara, selatan, timur, barat, persisnya kadang tertukar. 

Miris memang, kenapa harus mereka yang lebih tahu dari kita?. Kenapa isi dapur kita tetangga lebih tahun dari kita?. Kenapa coba? Kenapaa?. Kebanyakan dari kita (termasuk saya) kadang lebih mengagung-agungkan negara lain dibanding Negara sendiri. Menghina, mencaci, mencemooh negeri sendiri.
Kapan saya bahas bukunya ya? *garuk-garuk hidung* :D

***

Buku ini semacam diari seorang berkebangsaan Jepang. Hisanori Kato. Untuk pertama kalinya Kato tinggal di Indonesia pada tahun 90-an. Kato bermaksud melakukan penelitian agama islam di Indonesia sesuai dengan ilmu yang didalaminya, Sosiologi agama. Perlu dicatat, bahwa disertasinya mencakup perbandingan antara perilaku manusia di beberapa agama, terutama agama Budha.

Lain lubuk lain ikannya, lain ladang, lain belalangnya. Awalnya, Kato mengalami gegar budaya. Budaya Indonesia yang menurutnya aneh. Dibandingkan dengan budaya jepang yang serba tepat, terutama dalam hal waktu. Jauh dari Indonesia yang sangat mengenal ‘Jam karet’. Kato malah  heran dengan orang Indonesia sering mengatakan “tak apa-apa” untuk hal yang menurutnya “apa-apa”. 

Untuk mendalami penelitiannya, Kato mencoba mempelajari kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia dengan hal-hal sederhana. Mencoba berpikir positif dengan kebanyakan orang Jawa yang Nrimo, menerima sesuatunya dengan lapang dada. Makin dia pelajari, makin takjublah dia dengan temuan-temuan yang dia belum dapati di Jepang. Orang Indonesia umumnya pemaaf. Menurutnya, ada beberapa “kata sakti” yang sering didengarnya. 

Di Indonesia, sangat jarang ditemui orang yang datang tepat waktu. Alasan dengan Kata sakti pertama yang keluar dari orang yang terlambat adalah “macet”, kemudian lawan bicara akan berkata “oh begitu” dan perkara terlambat pun selesai. Bagi Kato yang orang jepang sungguh membingungkan.

Banyak hal yang ditemui Kato di Indonesia dan membuatnya makin cinta. Selain penelitian yang harus segera diselesaikannya, Kato juga kagum dengan keberagaman di Indonesia. Baik bahasa, suku, adat istiadatnya. Sampai-sampai, Kato harus belajar makan dengan menggunakan tangan untuk menyesuaikan makanan apa yang akan dimakannya. Ternyata enak menurutnya. Ah… kalau saya, pak Kato, makan ikan bakar itu jauh lebih enak dengan memakai tangan daripada harus bermanis-manis ria dengan menggunakan sendok atau garpu, apalagi sumpit :D.

Se-takjub takjubnya Bapak Kato ini akan Indonesia, saya lebih takjub lagi setelah membaca tuntas buku ini. Saya menjadi tahu kesan seorang Jepang tentang negeri tercinta ini. Jujur, saya semakin cinta Indonesia, yaaa…meskipun beberapa minggu terakhir menjelang kenaikan BBM, saya menjadi apatis terhadap kelakuan pendemo yang membuat resah dan gelisah. 

Saya sebagai anak muda Indonesia menjadi malu rasanya. Tidak belajar mencintai negeri sendiri, cenderung skeptis dan apatis. Saya bertekad, setelah menuliskan review ini, akan belajar mengurangi sikap sinis saya terhadap keadaan yang sedang berlangsung di Indonesia tercinta ini. Tidak ada salahnya kan saya kembali belajar untuk memahami hal-hal sederhana yang saya temui di negeri ini?.
Paling tidak, saya belajar untuk datang tepat waktu, datang sebelum acara atau janjian dengan seseorang. Setidaknya saya memang kalau ke mana-mana sering membawa buku di dalam tas untuk menemani saya menunggu acara dimulai atau teman yang belum datang.

Setidaknya lagi, saya tidak menambah daftar panjang Bapak Kato sebagai orang yang mengatakan “tak apa-apa”, “macet”, “maaf saya ketiduran, lupa ada janji”. Semoga.

Makassar, 15.06.2013 (23.35 Wita)





Read More
Diberdayakan oleh Blogger.

© 2011 Membacaki, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena